RESENSI BUKU Sanpio Goes Synodal: Revolusi Pendidikan Melalui Spiritualitas Ekaristi Transformatif

Pembaca budiman, dalam Rubrik Resensi Buku ini, kami mengulas satu buku menarik yang diterbitkan oleh Penerbit OBOR - Jakarta yang sedang dibaca oleh banyak orang. Selain kandungan isinya yang kaya perspektif, buku ini menjadi monumental karena meretas dari peringatan 70 tahun Lembaga Seminari Menengah Pius XII Kisol di Keuskupan Ruteng, Flores.

Cover depan dan belakang Buku Sampio Goes Synodal.

Identitas Buku

Judul: Sanpio Goes Synodal: Revolusi Pendidikan Melalui Spiritualitas Ekaristi Transformatif

Editor: Dr. Marianus Mantovanny Tapung

Penerbit: Penerbit OBOR, Jakarta

Tahun Terbit: Agustus 2025 (Cetakan Pertama)

ISBN: 978-634-240-010-4

Kontributor: 38 penulis dari berbagai disiplin ilmu

Prolog: Mgr. Siprianus Hormat (Uskup Keuskupan Ruteng)

Epilog: Mgr. Maksimus Regus (Uskup Labuan Bajo)

Kata Sambutan: Emanuel Melkiades Laka Lena (Gubernur NTT)

Konteks dan Signifikansi

Diterbitkan untuk memperingati 70 tahun Seminari Pius XII Kisol (Sanpio) yang didirikan tahun 1955, buku bunga rampai ini melampaui fungsi sebagai kronik sejarah institusional. Ia adalah manifesto transformasi pendidikan seminari yang berani menghadapi tantangan abad ke-21 dengan tetap berakar pada tradisi spiritual yang mendalam. Dengan melibatkan 38 kontributor dari beragam latar belakang—profesor, doktor, imam, biarawan/biarawati, hingga praktisi—karya kolektif ini menawarkan panorama komprehensif tentang bagaimana pendidikan calon imam dapat menjawab kompleksitas zaman digital, krisis ekologi, dan tuntutan demokrasi partisipatif.

Struktur dan Kerangka Konseptual

Buku ini dibangun di atas fondasi lima pilar pembinaan Sanpio yang telah teruji selama tujuh dekade: Sanctitas (kekudusan), Scientia (pengetahuan), Sanitas (kesehatan), Sapientia (kebijaksanaan), dan Solidaritas. Kelima pilar ini—yang disebut sebagai “penta helix”—bukan sekadar konsep teoretis, melainkan kerangka komprehensif yang mengintegrasikan seluruh dimensi pembentukan calon imam.

Bagian Pertama (Sanctitas) dengan tujuh (7) artikel mengeksplorasi spiritualitas di era digital, termasuk artikel menarik tentang praksis Ekaristi sebagai kurikulum tersembunyi, kesehatan mental calon imam, dan literasi spiritual 4.0. Bagian ini secara cerdas menjembatani kesenjangan antara kontemplasi tradisional dengan realitas dunia yang selalu terhubung (hyper-connected).

Bagian Kedua (Scientia) dengan sebelas (11) artikel membahas formasi berkelanjutan dan keterampilan abad 21. Artikel-artikel seperti “Kedai Kopi Habermas untuk Seminari” dan analisis tentang aktivisme digital menunjukkan kreativitas intelektual dalam mengkontekstualisasikan teori dengan realitas pastoral. Namun, jumlah artikel yang melimpah di bagian ini (hampir sepertiga dari total) membuat fokus agak terpecah.

Bagian Ketiga (Sanitas) dengan empat (4) artikel fokus pada kesehatan holistik—fisik, mental, emosional, dan spiritual. Ini adalah bagian terpendek namun sangat relevan mengingat krisis kesehatan mental yang meningkat di kalangan calon imam.

Bagian Keempat (Sapientia) dengan delapan (8) artikel mengangkat kepemimpinan partisipatif-transformatif, termasuk perspektif menarik tentang “Mental Pastoral-preneur” dan kritik poskolonial terhadap model pendidikan seminari.

Bagian Kelima (Solidaritas) dengan delapan (8) artikel menutup dengan fokus pada lingkungan dan kemanusiaan global, mengintegrasikan kearifan lokal Nusa Tenggara Timur seperti Lonto Léok dan Modung Mior dengan isu-isu kontemporer seperti climate discipleship dan ekonomi sirkular.

Kekuatan Utama

Pertama, konsep “Spiritualitas Ekaristi Transformatif” sebagai jantung revolusi pendidikan merupakan kontribusi orisinal yang kuat. Buku ini berhasil mengartikulasikan Ekaristi bukan hanya sebagai ritual liturgis, tetapi sebagai paradigma hidup yang mengintegrasikan dimensi mistik dan profetik. Seperti yang ditekankan dalam Epilog oleh Mgr. Maksimus Regus, Ekaristi menjadi “praksis pembaruan batin dan sosial” yang menghubungkan meja altar dengan realitas sosial.


Kedua, keberanian mengadopsi paradigma “synodal” menunjukkan keterbukaan terhadap semangat Paus Fransiskus tentang Gereja yang berjalan bersama. Sinodalitas di sini bukan sekadar tren, melainkan komitmen untuk menciptakan pendidikan yang partisipatif, inklusif, dan berorientasi pada pemberdayaan komunitas. Prolog dari Mgr. Siprianus Hormat memberikan testimoni pribadi yang kuat tentang bagaimana nilai-nilai Sanpio membentuk kepemimpinan pastoral yang melayani.

Ketiga, pendekatan multidisipliner menghasilkan analisis yang kaya. Dari filsafat Martin Buber, teori komunikasi Habermas, hingga pedagogi Paulo Freire—buku ini menunjukkan kedalaman intelektual yang jarang ditemukan dalam literatur seminari berbahasa Indonesia. Integrasi kearifan lokal Flores dengan diskursus global juga menunjukkan sensitivitas kontekstual yang penting untuk inkulturasi iman.

Keempat, dimensi praksis sangat kuat. Artikel tentang digital fundraising, climate discipleship, dan ekonomi sirkular menunjukkan bahwa buku ini tidak hanya teoretis tetapi menawarkan model-model konkret untuk pelayanan pastoral masa depan.

Kelemahan yang Perlu Dicermati

Pertama, sebagai karya bunga rampai dengan 38 kontributor, buku ini menghadapi tantangan kohesivitas. Meskipun ada struktur lima pilar, tidak semua artikel terhubung secara organik dengan tema sentral spiritualitas ekaristis transformatif. Beberapa artikel tampak berdiri sendiri tanpa dialog eksplisit dengan artikel lain. Ketiadaan sintesis komprehensif di setiap akhir bagian membuat pembaca harus bekerja keras menyusun sendiri benang merah.

Kedua, jumlah artikel yang sangat banyak (38 artikel) berpotensi membuat pembaca kewalahan. Distribusi yang tidak merata, di mana ada 11 artikel di Scientia versus 4 artikel di Sanitas, dapat menimbulkan pertanyaan tentang prioritas editorial. Beberapa tema seperti kompetensi linguistik dan pragmatik (dua artikel terpisah tentang bahasa Inggris) tampak terlalu spesifik dan redundan.

Ketiga, dari segi aksesibilitas, buku ini menuntut tingkat literasi teologis dan filosofis yang tinggi. Pembaca awam atau bahkan seminaris tingkat awal mungkin kesulitan mengikuti diskusi tentang epistemologi pembelajaran, relasi sirkular katekese-liturgi, atau kritik poskolonial. Penggunaan jargon akademis yang padat tanpa glosarium atau penjelasan tambahan bisa menjadi penghalang.

Keempat, meskipun buku ini mengklaim sebagai “revolusi,” beberapa artikel masih terasa konservatif dalam pendekatan. Diskusi tentang peran perempuan dalam Gereja, isu-isu gender dan seksualitas, atau kritik terhadap struktur klerikalis sangat minim. Untuk buku yang mengklaim “transformatif,” dimensi profetik-kritis ini tampak kurang eksplorasi.

Kelima, dimensi empiris relatif lemah. Sebagian besar artikel berbasis refleksi teoretis dan pengalaman personal. Hanya sedikit yang menyajikan data empiris tentang efektivitas model formasi yang diusulkan. Penelitian kuantitatif atau kualitatif yang sistematis akan memperkuat argumentasi.

Relevansi dan Kontribusi

Terlepas dari kelemahan, kontribusi buku ini terhadap diskursus pendidikan seminari di Indonesia sangat signifikan. Dalam konteks di mana literatur akademis tentang pendidikan calon imam masih terbatas, buku ini mengisi kekosongan penting. Ia menawarkan model pendidikan holistik yang dapat diadaptasi oleh lembaga pendidikan Katolik lainnya.

Khususnya relevan adalah kerangka keterampilan abad 21 yang diusulkan dalam Prolog: foundational literacies, competencies, dan character qualities. Integrasi ketiga pilar ini dengan lima pilar tradisional Sanpio (5S) menciptakan framework yang komprehensif untuk formasi calon imam yang tidak hanya saleh secara spiritual tetapi juga kompeten secara profesional dan sensitif secara sosial.

Buku ini juga berkontribusi pada dialog antara tradisi dan modernitas. Ia menunjukkan bahwa kesetiaan pada warisan spiritual tidak bertentangan dengan keterbukaan pada inovasi pedagogis. Sebaliknya, tradisi yang hidup adalah tradisi yang terus ditransformasikan dalam dialog dengan tanda-tanda zaman.

Kesimpulan

“Sanpio Goes Synodal” adalah karya monumental yang berani menghadirkan visi transformatif pendidikan seminari. Meskipun memiliki kelemahan dalam hal kohesivitas editorial, aksesibilitas, dan dimensi empiris, kontribusi intelektualnya terhadap pembaruan pendidikan calon imam di Indonesia tidak dapat diabaikan.

Buku ini bukan hanya untuk Sanpio atau bahkan untuk seminari-seminari lainnya, tetapi untuk siapa pun yang peduli pada masa depan kepemimpinan gerejawi yang autentik, transformatif, dan kontekstual. Ia membuktikan bahwa pendidikan yang berkualitas adalah investasi terbaik untuk masa depan Gereja dan dunia—sebuah pesan yang sangat relevan di tengah berbagai krisis yang kita hadapi.

Rekomendasi: Sangat layak dibaca oleh formator seminari, pendidik Katolik, peneliti pendidikan teologi, dan siapa pun yang tertarik pada pembaruan pendidikan keagamaan. Pembaca awam disarankan membaca dengan bimbingan atau diskusi kelompok untuk memaksimalkan pemahaman. (J. Carvallo)

Berikan Komentar
Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin
LINK TERKAIT